Pianis

NOTE: “FF yang terpubblish tidak ada editing ulang oleh admin, FF murni karya author. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam project ––Exo’s Member Birthday–– [April-Mei]”

Pianis Cover - FF Project

PIANIS

 

    Baek Hyun menatap sendu langit malam yang tidak bersahabat dengannya. Di saat hatinya gundah dan sepi, mengapa bulan dan bintang tidak menampakkan diri untuk menenangkan hati? Ia mengembuskan napas dengan kasar, terlihat asap keluar dari mulutnya, bisa ditebak malam ini adalah malam musim dingin. Tetapi, anak kecil itu masih berdiri di atap gedung dengan menggunakan jaket usang.

 

            “Ini tidak adil bagiku,” umpatnya kesal. Kemudian kaki kecilnya beranjak pergi dari tempat itu. Tetap berdiri atau kembali ke tempat menyedihkan adalah dua pilihan yang tidak ingin ia pilih salah satunya. Tapi, apa yang harus dilakukan? Ia tidak memiliki orang tua, lalu  tidak ada kerabat yang menerima kehadirannya. Bukankah takdir itu lucu? Membiarkan anak kecil tetap berkeliaran tanpa makanan di jalanan.

 

            Sesekali kaki kurusnya menendang botol soda yang berserakan di trotoar. Helaan napas kasar pun selalu terdengar dari mulut mungilnya. Mungkin ia menyesal pernah lahir atau ia sedang marah atas takdir yang menyedihkan. Langkahnya terhenti saat melihat toko roti, terdapat berbagai tumpukan roti hangat serta memiliki rasa yang beragam. Ia mengusap perut kecilnya seraya menatap kue itu dengan saksama dan menjilati bibirnya. Baek Hyun sangat ingin memakan salah satunya, mungkin itu keinginannya saat ini. Ia berharap, dunia akan baik pada anak kecil yang kelaparan, tetapi semua itu hanya imajinasi saja.

 

            Baek Hyun menampar keras pipinya, berharap ia tidak berkhayal lagi. “Byun Baek Hyun, sadarlah. Kau hanya anak yatim piatu dan miskin serta tidak memiliki uang. Jangan berharap memakan roti lezat itu. Sadarlah,” gumam Baek Hyun mencoba menyadarkan diri. Perlahan ia melangkahkan kakinya untuk pergi dari toko roti itu. Baru beberapa langkah Baek Hyun kembali ke toko, rasa lapar yang teramat tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan roti tersebut.

            “Aku sangat ingin memakannya. Hanya satu saja,” gumam Baek Hyun lemah. Akhirnya, ia memberanikan diri masuk dan meminta pada penjaga toko untuk memberikan satu roti untuknya.

 

            “Apa? Kau ingin meminta roti? Hey! Anak kecil! Jangan bermimpi, kalau kau tidak punya uang jangan datang ke toko ini!” bentak pemilik toko.

 

            “Tapi  … tapi aku sangat lapar. Kumohon Tuan, beri aku satu,” pinta Baek Hyun seraya berlutut memegang kaki penjaga toko tersebut.

 

            “Ya! Ini bukan tempat untuk meminta sumbangan! Pergi dari sini! Dasar pengemis!” sahut penjaga toko seraya menendang Baek Hyun untuk keluar.

 

            “Kumohon Tuan, beri aku satu,” pinta Baek Hyun sekali lagi seraya menahan tangis.

 

            “Sudah aku katakan! Ini bukan tempat untuk meminta sumbangan! Pergi dari tempat ini, manusia kotor!” bentak penjaga toko yang mendorong Baek Hyun keluar, sampai tubuh kurusnya tersungkur ke dalam salju. Terlihat beberapa luka kecil di wajah akibat tergores tajamnya salju. Ia kemudian menatap toko tersebut dengan linangan air mata.

 

            “Kenapa dunia begitu jahat padaku?” gumam Baek Hyun di tengah tangisnya. Memang di dunia ini, kita sulit menemukan kata adil. Si Kecil akan terus menjadi kecil dan lemah, sedangkan Si Besar akan terus besar serta jaya.

 

            Perlahan Baek Hyun berdiri dan menatap tajam penjaga tersebut. Ia tetap berdiri di sana menunggu penjaga itu masuk. Detik kemudian, Baek Hyun kembali masuk ke toko dan mengambil satu roti yang tersusun rapih di atas meja. Setelah dapat, Baek Hyun berlari dengan cepat.

 

            “Pencuri! Tangkap pencuri itu!” teriak penjaga toko saat menyadari Baek Hyun mengambil roti dengan lancang. Mendengar teriakan, Baek Hyun terus memacu larinya. Ia tidak ingin tertangkap, ia hanya lapar.

 

            BUK!

 

            Tubuh Baek Hyun kembali tersungkur, roti yang ia bawa melayang dan jatuh ke jalan raya kemudian terlindas mobil. Ia mendongakkan kepala, melihat siapa yang membuatnya terjatuh. Mata kecilnya ia sipitkan, samar-samar dapat melihat gadis kecil berambut pirang dengan wajah sinis menatap jijik. Bisa ditebak gadis itu berumur dua belas tahun dan anak orang kaya.

 

 

            “Dasar pencuri, kau harus mengganti rugi roti yang kau ambil dari toko orang tuaku,” sahut gadis kecil itu dengan angkuhnya.

 

            “Tapi aku tidak memiliki uang sedikit pun,” sahut Baek Hyun seraya berdiri dan menundukkan kepalanya. “Jangan laporkan aku ke polisi,” ucap Baek Hyun lagi.

 

            Gadis kecil itu melipat kedua tangannya di depan, dengan wajah sinis ia mengatakan, “Kalau tidak punya uang, jangan berharap menginginkan roti tersebut dan kau harus kulaporkan ke polisi!”

 

            “Kumohon jangan laporkan aku. Ampuni aku. Aku hanya lapar,” ucap Baek Hyun memohon seraya berlutut. “Kumohon jangan laporkan aku,” pinta Baek Hyun sekali lagi seraya memegang kedua kaki gadis tersebut.

 

            “Ya! Singkirkan tangan kotormu dari kakiku!” bentak gadis itu seraya menendang Baek Hyun hingga tersungkur kembali. “Aku tidak akan melepaskanmu,” ucapnya lagi.

 

 

            Baek Hyun menatap sendu gadis yang tengah mendongakkan kepalanya dengan angkuh. Sekali lagi, Baek Hyun meratapi dunia yang sangat kejam terhadapnya.

 

 

            “Nona, kenapa kau tidak kasihan terhadapku?” tanya Baek Hyun iba.

 

            “Manusia menjijikan seperti dirimu tidak perlu dikasihani!” sentak gadis itu sekali lagi.

 

 

            Baru saja Baek Hyun ingin meyanggah ucapan gadis itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan penjaga toko tersebut. Ia menoleh dan melihat banyak sekali orang yang berlari ke arahnya.

 

 

            “Pencuri!”

 

            Baek Hyun mencoba lari lagi, namun kakinya tersandung oleh kaki gadis itu. “Cih, jangan pernah mencoba kabur,” ucap gadis itu sinis.

 

 

            Semua berjalan begitu saja, orang-orang memukuli Baek Hyun tanpa ampun. Mereka tidak melihat kalau Baek Hyun hanyalah anak kecil yang kelaparan dan sangat memerlukan makanan serta kasih sayang. Tapi hati mereka telah menjadi batu, hanya karena sepotong roti mereka melukai anak kecil yang lemah. Bahkan jeritan kesakitan Baek Hyun tidak membuat mereka berhenti memukulnya. Setelah mereka puas, mereka meninggalkan Baek Hyun begitu saja dengan kondisi berbagai luka menghiasi tubuh mungil nan kurus itu.

 

 

“Rasakan itu! Dasar anak miskin!” bentak gadis itu seraya pergi meninggalkan Baek Hyun yang terkapar tidak berdaya.

 

Baek Hyun meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Tuhan kenapa kau begitu kejam terhadapku? Kenapa Engkau memberi takdir seperti ini padaku?” tanya Baek Hyun seraya menatap langit.

 

            “Jangan menyalahkan Tuhan,” ucap seorang gadis kecil seraya menghampiri Baek Hyun dan membantunya untuk bangun. Kemudian memapah Baek Hyun untuk duduk di bangku yang terletak tidak jauh dari sana.

 

            “Pasti sakit, bukan?” tanya gadis itu simpati.

 

            “Mengapa kau membantuku?” ujar Baek Hyun balik bertanya.

 

            “Jangan tanyakan hal itu. Tunggu di sini, aku akan membeli obat luka. Jangan  pergi dari sini, ok?”

 

            Tanpa mendapat persetujuan Baek Hyun, gadis kecil berparas manis dengan rambut pirang sebahu itu langsung berlalu dan menuju toko obat yang tidak terlalu jauh. Sedangkan Baek Hyun hanya bisa menatap punggung anak tersebut dengan pandangan bingung. Baru kali ini ia mendapat perlakuan yang pantas. Tidak memerlukan waktu lama, gadis itu telah kembali. Ia menggenggam bungkusan berlapis plastik warna putih.

 

            “Ulurkan tanganmu. Ini harus segera diobati, kalau tidak akan menjadi infeksi,” ujar gadis tersebut seraya menarik tangan Baek Hyun dan mengoleskan obat antiseptik pada luka-luka tersebut.

 

 

            Baru pertama kali ia mendapat perhatian yang belum diterima selama ini. Bahkan kedua orang tuanya tidak menginginkan kehadirannya, mereka membuang bayi kecil ke jalanan. Tetapi Tuhan selalu berbaik hati pada setiap makhluk ciptaan, bayi itu masih bertahan sampai ada yang memungut dan membawanya ke panti asuhan. Setelah beberapa menit kemudian, gadis kecil itu telah selesai mengobati serta memberikan plester pada setiap luka di tubuh Baek Hyun.

 

 

            “Ini, makanlah,” ucapnya seraya mengeluarkan sepotong roti dari dalam plastik tersebut.

 

 

            Baek Hyun hanya menatap roti tersebut tanpa menyentuhnya. Ia menatap gadis itu ragu, apakah ia akan dipukuli lagi jika menyentuh roti? Seolah mengerti dengan tatapan Baek Hyun, gadis berwajah manis hanya mengangguk kecil. Merasa yakin kalau roti itu untuknya, Baek Hyun langsung menyambar dan memakannya dengan lahap. Ia seperti orang yang tidak pernah makan. Setelah habis, Baek Hyun mengulurkan tangannya, tak lupa ia mengelapnya dulu pada baju lusuh yang ia pakai. Gadis kecil itu hanya tersenyum simpul melihat tingkah Baek Hyun kemudian menyambut uluran tangan Baek Hyun.

 

            “Terima kasih,” ucap Baek Hyun tersenyum tulus.

 

            “Untuk apa?” tanya gadis itu bingung.

 

            “Untuk semuanya, kau sangat baik terhadapku.”

 

 

            Mendengar ucapan Baek Hyun, gadis itu terdiam seraya melepaskan tangannya dari Baek Hyun ada rasa sesal dalam hati, mengingat apa yang dilakukan oleh saudarinya. “Kau jangan berterima kasih padaku,” ucapnya seraya tertunduk.

 

            “Kenapa?”

 

            “Ah, tidak. Lupakan.”

 

            “Kau aneh dan lucu. Oh ya, siapa namamu?”

 

            “Namaku?”

 

            “Hem, iya. Nama gadis kecil yang telah peduli padaku.”

 

            “Namaku? Ani, panggil saja Hana. Jangan tanya lagi, ok?”

            “Hm, baiklah Hana.”

 

            Untuk pertama kali sejak Baek Hyun hadir dalam dunia, akhirnya ia memiliki seorang teman. Bahkan ketika ia di panti asuhan, tidak ada yang mau bermain dengannya.

 

 

            “Apa kau masih lapar?” tanya Hana ketika mendengar bunyi aneh dari perut Baek Hyun. Mendapat pertanyaan tersebut, Baek Hyun hanya bisa tersenyum malu.

 

            “Baiklah. Kalau kau masih lapar, ikut aku,” ajak Hana seraya menarik tangan Baek Hyun untuk menuju sebuah tempat. Baek Hyun hanya diam dan melangkah mengikuti langkah Hana berpijak. Matanya menelisik setiap sisi daerah itu, bukankah ini jalan menuju toko roti tadi?

 

 

            Benar, mereka berhenti tepat di depan toko tersebut. Seketika itu juga, Baek Hyun langsung bersembunyi di balik punggung Hana. Rasa trauma dirasakan Baek Hyun akibat kejadian beberapa jam yang lalu.

 

 

            “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Baek Hyun dengan takut.

 

            “Jangan takut, ini toko roti Ayah dan Ibuku,” sahut Hana seraya berbalik agar Baek Hyun tidak bersembunyi lagi di balik punggungnya.

 

            “Tapi gadis tadi−“

 

            “Soal itu, maafkan Kakakku. Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal seperti itu pada kami, mungkin itu sifat murni Kakakku.  Ada aku di sini, ok?”

 

            Baek Hyun hanya menjawab dengan anggukan kepala, kemudian Hana menggandeng tangan kurus Baek Hyun. Ketika mereka masuk ke dalam toko tersebut, beberapa karyawan menatap jijik pada Baek Hyun. Tubuh kecil nan usam dengan baju kotor dan tidak pantas untuk dipakai, berdasarkan itulah mereka tidak menyukai kehadiran Baek Hyun.

 

 

            “Hana-ya, aku takut,” ucap Baek Hyun seraya menggenggam balik tangan Hana.

 

            “Tidak perlu. Ini toko keluargaku. Tetap berada di sampingku,” sahut Hana menyakinkan Baek Hyun.

 

 

            Mereka berhenti di sebuah meja yang terletak dekat jendela. Hana meminta Baek Hyun untuk menunggu dan jangan pergi ke mana-mana, karena ia ingin mengambil roti. Setelah Hana pergi, Baek Hyun kembali merasa takut, apalagi melihat tatapan karyawan di sana seperti ingin membunuhnya.

 

 

            “Hey! Anak jalanan! Mengapa kau di sini! Ini bukan tempatmu!” bentak penjaga toko yang menganiaya Baek Hyun sebelumnya.

 

            “Maaf Tuan. Aku bersama Hana,” sahut Baek Hyun ketakutan.

 

            “Nona Hana! Cih, kau jangan bermimpi. Bagaimana bisa putri pemilik toko ini mengenalmu! Sungguh mustahil!”

 

            “Tapi−“ Belum sempat Baek Hyun berkata, penjaga toko tersebut sudah menyeret dan mendorong Baek Hyun keluar dengan kasar.

 

            “Hey! Kau sudah beruntung tidak aku laporkan ke polisi dan sekarang kau berbohong. Mau jadi apa kau, jika masih kecil sudah menjadi pendusta dan pencuri!”

 

 

            Baek Hyun hanya diam menerima cacian itu kembali. Sekali lagi, ia merasa semua itu hanya usaha Hana untuk melihatnya menderita. Berpura-pura baik, lalu mengajaknya ke toko dan kembali dihina. Mereka sangat kejam padanya.

 

            Setelah mendapat perlakuan yang tidak pantas, Baek Hyun memilih untuk pergi dengan langkah sedikit tertatih. Baek Hyun merintih dan meminta pada Tuhan untuk mengambil nyawanya sekarang juga. Ia benar-benar tidak sanggup. Ketidakadilan dan perlakuan yang kejam pada dirinya, ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

 

 

            “Beberapa jam lalu, aku baru mendapatkan teman. Aku kira ia benar-benar tulus berteman dengan anak miskin ini. Tapi ternyata, tidak. Tuhan bawa pergi aku. Tubuh dan jiwaku sudah sangat lelah.”

 

 

            Baek Hyun kembali menatap langit malam yang sunyi. Jam sudah menunjukkan pukul 11.50 PM. Anak kecil itu sekarang terkapar tidak sadarkan diri di trotoar. Pejalan kaki yang memelihatnya, hanya melewati tanpa peduli atau membantu. Bukankah dunia ini benar-benar kejam untuk Baek Hyun?

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Baek Hyun membuka mata dan membayangkan penonton yang menunggu permainan pianonya. Kembali, ingatan akan sepuluh tahun  lalu masih terasa segar. Perlakuan yang ia terima seperti sampah, tetapi sekarang ia disanjung karena jari jemarinya lihai menari di atas tuts-tuts piano. Terkadang masa lalu tidak bisa dilupakan, bahkan mereka membawa kita pada titik saat ini.

“Sekarang.”

Baek Hyun mengangguk mengerti, tirai dibuka dan ia mulai memainkan nada-nada di piano itu. Semua orang terdiam dan menghayati setiap alunan nada tersebut.

“Aku berterima kasih padanya. Aku menyesal telah salah paham. Aku tidak akan melupakanmu. Kau selalu menari bersama dengan alunan melodi yang aku mainkan. Jangan pernah pergi dari ingatanku. Kim Hana.”

 

.

 

.

 

.

 

.

 

            Samar-samar Baek Hyun kecil bisa mencium aroma obat yang menyeruak. Ia juga bisa merasakan seseorang tengah menggenggam tangannya dengan erat. Perlahan, ia membuka mata, tetapi ia urungkan kala sinar lampu sangat menyilaukan. Sekali lagi ia mencoba membuka mata dengan sedikit menoleh ke arah kanan. Terlihat buram, seorang gadis kecil tengah tertidur dengan kepala bersandar pada ranjang di mana Baek Hyun berbaring.

 

 

            “Gadis ini?” gumam Baek Hyun.

 

            Sekian detik kemudian, gadis itu terbangun dan menatap Baek Hyun. Senyumnya mengembang. “Kau sudah sadar,” ucapnya tersenyum.

 

           

            Baek Hyun mengamati wajah gadis itu. “Hana?” Nama itu terucap begitu saja, wajah gadis kecil yang membantunya tidak mudah ia lupakan.

 

 

            “Maafkan aku. Kau tidak sadarkan diri selama satu minggu. Sekali lagi maafkan aku. Aku terlalu lama meninggalkanmu, sehingga karyawan orang tuaku mengusirmu lagi. Maafkan aku, sungguh maafkan aku.”

 

            Mendengar penuturan Hana, Baek Hyun hanya tersenyum sinis. Dengan suara yang lemah, ia menanggapi ucapan Hana.”Kurasa kau hanya bersandiwara. Kau membawaku ke toko itu, agar aku mendapat perlakuan kasar lagi. Aku memang orang miskin, tapi aku juga manusia.”

 

            “Sungguh. Aku tidak bermaksud seperti itu. Ini hanya salah paham. Kumohon maafkan aku. Kumohon, aku hanya ingin berteman denganmu.”

 

            “Terlalu kontras. Bagaimana orang kaya sepertimu mau berteman denganku. Terima kasih sudah mau menolongku.” Setelah mengatakan hal tersebut, Baek Hyun melepas selang infus dan beranjak dari ranjang.

 

            “Kau belum pulih sepenuhnya. Kau masih lemah,” ucap Hana yang khawatir melihat Baek Hyun melepas semua fasilitas kesehatan.

 

            “Singkirkan rasa kasihanmu. Aku tidak ingin tertipu lagi,” sahut Baek Hyun mencoba berjalan walaupun merayap pada tembok.

 

            “Kumohon dengarkan aku. Ini hanya salah paham. Kembalilah ke ranjang itu dan pasang kembali selang infusnya.”

 

            “Aku tidak mau menerima belas kasihanmu lagi.”

 

 

            Baek Hyun terus berjalan, beberapa langkah lagi ia bisa melewati pintu keluar. Tapi, pandangannya mulai kabur dan gelap. Samar, ia bisa mendengar pekikan Hana.

 

            Gadis itu masih setia menunggu Baek Hyun sadar. Sesekali ia melihat wajah Baek Hyun kecil. Otaknya mengingat perkataan Baek Hyun sebelum ia pingsan. Apakah kesalahpahaman ini bisa diluruskan?

 

           

            “Nona Kim,” panggil seseorang dari arah pintu.

 

            “Nde? Apa Ahjussi sudah mendapat informasinya?”tanya Hana ketika orang itu sudah berada di hadapannya.

 

            “Iya. Anak kecil ini bernama Byun Baek Hyun. Sejarah keluarga dan tanggal lahirnya tidak diketahui. Ia tinggal di Panti Asuhan Pelangi. Anak ini selalu juara satu dalam bidang pelajaran dan ia memiliki kemampuan khusus bermain piano. Tapi menurut pengurus panti, ia dijauhi oleh sesama penghuni panti. Ia juga tercatat dalam laporan anak hilang di kantor polisi. Hanya itu saja yang bisa saya dapatkan. Satu lagi, saya sudah mengadopsinya atas nama Hyun Soo Hwa, seperti yang Nona minta.”

 

            “Baiklah. Terima kasih, Ahjussi.”

 

“Ini pekerjaan saya Nona.”

 

Pria paruh baya itu segera meninggalkan ruangan tersebut, namun ketika berada di ambang pintu,  ia berbalik dan mengatakan sesuatu pada Hana. “Nona, kau jangan terlalu merasa bersalah. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Anda juga harus jaga kesehatan. Besok ada kompetisi balet  Junior High School tingkat nasional.”

 

“Aku mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan,” sahut Hana seraya tersenyum.

 

 

Setelah maid kepercayaannya pergi, Hana kembali menatap Baek Hyun. “Apa mungkin kau mencoba kabur? Baek Hyun-ah, aku benar-benar ingin menjadi temanmu.” gumam Hana.

 

 

 

            Baek Hyun membuka mata, terlihat seorang suster tengah memeriksa keadaannya. “Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya suster tersebut yang memiliki name tag ‘Hyun Soo Hwa’.

 

            “Sedikit lebih baik,” sahut Baek Hyun lemah.

 

            “Kau anak kecil yang sangat beruntung, memiliki teman seperti Kim Hana,” ucap Soo Hwa seraya meletakkan nampan makanan di meja.

 

            “Aku tidak memiliki teman.”

 

            “Aku mengerti. Hana sudah menyeritakan semuanya. Aku adalah guru baletnya.”

 

            “Tapi, bukankah Anda seorang suster?”

 

            “Iya, guru balet adalah pekerjaanku selain menjadi suster. Ingin mendengar sebuah fakta?”

 

            “Apa itu?”

 

            “Kau tidak bisa membiarkan dirimu tenggelam dalam kesalahpahaman. Kim Hana adalah gadis kecil dengan hati seperti malaikat. Dia mudah tersentuh dengan keadaan orang lain. Ia akan melakukan apapun untuk membantu sesama. Tidak pernah perhitungan atau mengungkit kebaikan, tidak seperti Kim Hani, saudarinya. Asal kau tahu, ia memintaku untuk mengurusmu dan menganggapmu seperti adikku sendiri. Ia juga meminta Ayahnya mengirimkan sebuah piano ke rumahku. Bukankah kau suka piano?”

 

            “Dari mana Anda tahu?”

 

            “Hana yang mengatakannya. Dia ingin aku menjagamu seperti adikku, Chanyeol. Jadi bersyukurlah kau memiliki teman sepertinya.”

 

 

            Baek Hyun terdiam mendengar penuturan Soo Hwa. Berarti asumsinya terhadap Hana selama ini adalah salah. Gadis itu memang baik dan tidak jahat seperti pemikirannya. “Aku sangat bodoh,”gumam Baek Hyun.

 

 

            “Apa Anda tahu, di mana Hana sekarang?” tanya Baek Hyun.

 

            “Hana? Kurasa ia sedang menghadiri kompetisi balet dan setelah itu ia akan pergi ke Skotlandia. Untuk melakukan sesuatu hal,” sahut Soo Hwa.

 

            “Aku ingin menemuinya,” ucap Baek Hyun seraya mencoba melepaskan selang infus lagi.

 

            Dengan cepat Soo Hwa menghalanginya. “Jangan, kau belum sembuh. Dia memintaku untuk menjagamu sampai kau sukses dan tidak menjadi anak jalanan lagi. Lihatlah ini,” ucap Soo Hwa, kemudian ia mengambil laptop dari laci meja dan meletakkannya di samping Baek Hyun. Ia membantu anak kecil itu untuk duduk bersandar. Jari lentiknya memasukkan sebuah kaset ke dalam laptop. Sekian detik, wajah Hana terpampang jelas di layar. Baek Hyun menatap lekat layar tersebut.

 

 

            “Ehem … Hai! Byun Baek Hyun, apa kabarmu? Ah, aku lupa kau sedang di rawat, bukan? Maafkan aku, kejadian satu minggu lalu hanya kesalahpahaman. Apa kau sekarang bisa memaafkanku? Kuharap, aku dimaafkan. Oh ya, sekali lagi aku minta maaf, karena menyelidiki latar belakangmu tanpa izin. Maafkan aku.”

 

 

            Rekaman itu sejenak tidak menampilkan Hana, ia pergi entah ke mana, tetapi satu detik kemudian gadis kecil itu kembali datang dengan membawa sebuah gitar.

 

 

            “Eum, maaf. Aku tidak tahu hari ulang tahunmu. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu untukmu. Mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya.”

 

 

            Jari jemari Hana mulai memetik setiap senar nada gitar. Alunan musik mulai terdengar merdu dari speaker laptop tersebut. Gadis itu mulai membuka mulutnya dan bernyanyi.

 

 

~~~~~

[ Suzy – Winter Child]

Gyeoule taeeonan

Areumdaun dangsineun

Nuncheoleom kkaekkeuthan

Namanui dangsin

 

 

Gyeoule taeeonan

Sarangseuleon dangsineun

Nuncheoreom malgeum

Namanui dangsin

 

 

Hajiman bom yeoleumgwa

Gaeul gyeoul

Eonjena malgo kkaekkeuthae

 

 

Gyeoule taeeonan

Areumdaun dangsineun

Nuncheoreom kkaekkeuthan

Namanui dangsin

 

 

Saengil Chukkahabnida

Saengil Chukkahabnida oooohhh~

Saengil Chukkahabnida

Dangsinui saengileul

 

Happy birthday to you

Happy birthday to you

Happy birthday to you

Happy birthday to you …

~~~~~

 

            Setelah selesai menyanyi, Hana meletakkan gitarnya kembali. “Baek Hyun-ah, maafkan aku karena saat awal pertemuan kita, aku tidak sengaja membuatmu terluka.  Aku tidak tahu kapan kau ulang tahun, tapi aku mendengar dari seseorang kau lahir  di bulan Mei. Selamat ulang tahun, Byun Baek Hyun. Kau seputih dan seindah salju. Berteman bagiku tidak memandang penampilan, tapi aku melihat dari sorot matamu. Kau memiliki sebuah jiwa yang begitu bersih dan indah. Tetaplah hidup sebagai Baek Hyun yang aku katakan. Pertemuan kita memang singkat, tapi aku sangat bersyukur bisa memiliki teman sepertimu. Seorang teman yang membuatku sadar, bahwa di dunia ini ada perbedaan. Tetapi perbedaan itu sangat indah, bukan? Oh ya, hadiah ulang tahunmu, aku titipkan pada Soo Hwa Ssaem. Kuharap kau suka. Satu lagi, sampai jumpa di masa mendatang, Byun Baek Hyun. Saat hari itu datang, kau harus menjadi seorang yang lebih baik dari sekarang. Berjuanglah untuk sepuluh tahun esok. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, sebagai bentuk permintaanmaafku. Annyeong Byun Baek Hyun.”

 

           

            Hana melambaikan tangannya dan tepat saat itu juga, video tersebut tidak melakukan aktivitas’Play’. Baek Hyun terdiam, ia masih menatap layar yang terhenti dan menampilkan Hana tengah tersenyum. Anak kecil ini benar-benar terenyuh pada sifat Hana. Ia sangat buruk, membenci gadis kecil berhati mulia. Kini butiran bening seperti kristal itu menerobos perlindungan dari kelopak mata dan mengalir deras di wajah Baek Hyun.

 

 

 

            “Seharusnya, aku yang meminta maaf. Kau sangat baik dan mulia. Aku yang terlalu naif dan bodoh,” gumam Baek Hyun di tengah tangisnya.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Suara tepuk tangan yang meriah nan ramai, mengiringi akhir permainan piano Baek Hyun. Ia kemudian berdiri dan membungkuk sembilan puluh derajat. Tirai tertutup.

“Lihatlah, Hana. Sekarang aku berada di puncak. Kalung ini benar-benar berfungsi sebagai penyerap keburukan,” ucap Baek Hyun seraya mengeluarkan kalung melodi dari balik tuxedo-nya. Ia selalu memakainya sepuluh tahun ini, semenjak benda itu jatuh ke tangannya.

Kemudian ia berjalan keluar dari gedung pertunjukkan itu. Langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis manis tengah berdiri menatapnya.

“Wah, aku tidak menyangka bertemu bintang besar,” ucap gadis itu tersenyum.

Baek Hyun mematung, senyum itu adalah senyum yang ia kenal sepuluh tahun lalu. “Kim Hana?”

“Kau mengenalku?”

“Apa kau lupa pada anak kecil yang kau tolong?”

“Astaga! Kau Byun Baek Hyun yang itu?”

“Lalu kau pikir ada berapa Byun Baek Hyun di dunia ini?”

“Hehe .. maaf.  Aku mendengar dari Soo Hwa Ssaem, kalau kau memang jadi seorang pianis, tapi aku tidak menyangka kau adalah bintang besar. Apa ini memang mimpimu?”

“Ya, inilah mimpiku. Terima kasih sudah membantuku, Kim Hana.”

“Tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantumu.”

.

.

“Bukankah ini bulan Mei?” tanya Hana duduk seraya memainkan kaki yang ia biarkan menyentuh dinginnya air sungai Han.

“Hmm … Apa kau ingin bernyanyi untukku lagi?” goda Baek Hyun seraya tersenyum.

“Aish, jangan menggodaku,” sahut Hana kesal.

“Haha … Baiklah.”

Setelah percakapan singkat itu, suasana menjadi hening. Hanya tiupan angin dan gemericik air sungai yang terdengar bersahut-sahutan pada malam hari ini. Kedua anak kecil itu, sekarang sudah tumbuh dewasa. Sebuah takdir yang sangat indah bagi keduanya.

Baek Hyun mengeluarkan sebuah kotak dari saku jasnya. Kotak yang berwarna  merah muda serta seutas pita membelit sisinya. “Untukmu,” ucap Baek Hyun seraya memberikannya pada Hana.

“Untukku?”
“Hm, kau pikir di sini ada orang lain selain kita?”

“Iya, itu. Ada sepasang kekasih sedang duduk di bawah pohon. Lalu ada keluarga kecil tengah berjalan bersama anaknya. Ah, satu lagi, ada Kakek dan Nenek tengah menikmati malam. Banyak orang di sini, Baek Hyun,” sahut Hana seraya menunjuk apa yang ia ucapkan.

Baek Hyun menghela napas. “Sudahlah,  yang jelas ini untukmu,” ucap Baek Hyun seraya meletakkan kotak tersebut di telapak tangan Hana.

“Apa isinya?”

“Buka saja sendiri.”

Hana pun membuka kotak tersebut, terdapat sepasang gelang Cartier. Di sisi dalam gelang terdapat inisial ‘H & B’.

“Itu hadiah dariku, untuk hari ulang tahunmu. Seharusnya aku memberikannya pada bulan April, tapi aku tidak tahu harus mengirimnya ke mana. Soo Hwa Nuna juga tidak memberi tahu alamatmu. Apa kau suka?” tanya Baek Hyun.

Mendapat hadiah dari orang lain merupakan hal yang sangat baru bagi Hana. Sebelumnya ia hanya menerima hadiah dari orang tuanya dan Hani. Ia memang memiliki banyak teman di Skotlandia, tetapi mereka tidak pernah memberikan hadiah seperti yang Baek Hyun lakukan. Hana terus menatap gelang tersebut dengan mata yang berkaca-kaca dan tidak menghiraukan pertanyaan Baek Hyun.

“Apa kau tidak suka?” tanya Baek Hyun khawatir karena Hana tidak menjawab pertanyaannya.

“Aku sangat suka. Sangat,” jawab Hana tertunduk. Ia tidak ingin Baek Hyun melihatnya menangis.

“Lihat aku. Jangan menunduk,” ucap Baek Hyun seraya meraih dagu Hana agar ia bisa melihat wajah gadis yang ada di hadapannya. “K-kau menangis?” tanya Baek Hyun kaget.

“Aku tidak pernah mendapatkan ini sebelumnya. Hanya kau satu-satunya teman yang memberiku hadiah. Terima kasih,” ucap Hana terisak.

Baek Hyun pun langsung memeluk dan menepuk pelan punggung gadis itu. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau dan keluargamu pindah ke Skotlandia karena aku, bukan? Dengan susah payah kau membujuk Western datang ke Korea untuk mengajariku. Aku tahu itu. Lalu ketika kau menghilang sepuluh tahun ini, karena kau merasa bersalah padaku. Padahal kau tidak memiliki salah. Kau adalah malaikat dalam hidupku,” gumam Baek Hyun dalam hati.

“Terima kasih. Hadiah ulang tahun ini sangat berharga, Baek Hyun-ah.”

“Terima kasih juga, Hana-ya.”

Baek Hyun melepas pelukannya dan menatap lekat wajah Hana. Kemudian ia meraih tengkuk gadis itu dan mendekatkan ke wajahnya. Jarak keduanya hanya beberapa sentimeter, Hana memejamkan mata begitu pun dengan Baek Hyun.

Angin bertiup merdu bersama ranting pepohonan yang saling bergesek. Langit pun begitu indah pada malam hari ini. Dua anak manusia itu telah mendapat hidup yang lebih baik dari sebelumnya.

END****

By Arra

80 respons untuk ‘Pianis

  1. Ngomong2 kenapa WP aku nggak bisa dibuka? Huhuhu 😥 jadinya komen pake email, deh. Kan nggak elite. Baekhyuuun 😥 Kasihan sekali nasibmu. Semoga org2 yng menyiksamu mendapat balasan dari Allah SWT. Komentar lainnya ada di fb. Semoga menang Mbak Ari 🙂 Keep Writibg & Fighting 🙂

    Suka

  2. Whohoo… Daebak.. (y) Bikin terharu… Endingnya keren bighit.. 🙂 Ternyata Baekhyun menemukan kehidupan yang lebih layak dan malah menjadi bintang besar… Great Fanfic thor… Keep writting 😀 I wish you be winner… #semoga bahasa inggrisnya nggak salah.. haha.. :v

    Disukai oleh 1 orang

    • Namamu hampir sama seperti punyaku. url blog aku araexofanfiction.
      Hampir sama bukan? Hanya saja, nama penaku sudah aku ganti Arra. Aku tadi kaget liat kolom komentar dengan nama Arafiction82, kaya nggak asing. 😀 Oh ya nama kamu siapa?

      Amin, ya rabbal alamin. Iya, baekhyun menemukan hidup yang lebih baik.

      Suka

      • Hehe.. iya.. Ara bingung mau kasih nama apa sama url blog Ara, jadi Ara kasih aja nama itu. Tapi nanti kalo resmi masuk blog bakalan Ara ganti.. 😀 #Nggaknanyaya..

        Disukai oleh 1 orang

  3. Bagus ^^ bahasanya ringan dan mengalir. Ceritanya juga menarik, endingnya juga sweet hehe
    Maaf ya aku ga pintar menilai cerita

    Suka

Don't Be A Siders~