Fear Street : “Halloween Party” [Chapter 2]

1534148_副本

Cast   : Byun Baekhyun , Kim Nana , Kris

Support Cast    : Park Chanyeol, Kim Jongin, Chen, Lay, Tiffany Snsd, Jessica Snsd, Krystal Fx, and Other.

Genre    : Horor, Friendship, Romance.

Disclaimer    : Ini novel terjemahan nih, ceritanya daebak!! Mimin mau share ini cerita, ada yang udah baca ceritanya? Penulisnya R.L Stine (ini penulis novel-novel horror favorit mimin) , mimin cuma ganti nama ‘depan’ tokoh-tokohnya doang, jadi mohon maaf apabila pemilihan cast tidak sesuai dengan karakter. Pas lyat foto2 smtown pesta Hallowen mimin langsung inget sama cerita ini.. Scan/edit teks by ebukulawas.

~Selamat membaca~

ORANGTUA Baekhyun langsung mengizinkannya pergi ke pesta sepanjang malam itu, tapi hanya karena ada paman Tiffany yang akan mengawasi. Orangtua Kim Nana lebih sulit diyakinkan, tapi ketika Kim Nana memperlihatkan kosturn yang telah ia buat selama berjam-jam, mereka akhirnya menyerah.

Sementara itu, Baekhyun, Lay, Chen, dan Krystal—tim “pengecut”— sedang merancang tipuan yang akan mereka mainkan pada tim jagoan. Baekhyun hanya separo hati melakukannya, karena ia tahu kompetisi itu sebenarnya antara Kris dan ia. Kim Nana sama sekali tak mau terlibat dengan kompetisi atau permainan apa pun. Tapi ia sangat menantikan pesta itu.

Sementara itu, setiap hari di sekolah terasa seperti Hari Aprilmop. Pada awalnya hanya permainan tak berbahaya. Suatu pagi, tim jagoan “mengerjai” Lay Schorr dengan sebuah ular plastik raksasa yang meloncat keluar locker-nya. Lalu Chen membalas dendam dengan menyelinap masuk ke dalam ruang locker dan mengisi sepatu basket Kris serta Chanyeol dengan krim cukur. Sehari sesudahnya, Krystal menerima telepon dari seseorang yang mengatakan ia telah m-menangkan 500 kilo ikan mati di kontes pengecut. Tapi kemudian permainan itu berubah jahat.

Dua hari sebelum Halloween, Baekhyun membuka locker dan mengulurkan tangan mengambil raket tenis tanpa melihat lagi.
“Ohhh.” Tangannya menyentuh sesuatu. Terasa lengket dan dingin. Seperti kulit mayat.
Baekhyun menjatuhkan raketnya dengan jijik. Ia melangkah mundur, lalu memaksa diri menatap raketnya. Menggantung di seutas tali, sebuah kepala ayam gundul menatapnya dari balik mata yang tak bernyawa.
“Iih, jijik.” Ia memungut raketnya dan membuka gulungan kertas di gagangnya: “Ini untuk kostummu, pengecut. Kau akan melihat yang lebih buruk—kecuali kau mengundurkan diri dan melupakan pesta ini.”
“Dewasa sekali, Kris,” ujar Baekhyun ke koridor yang kosong. Ia mengangkat bahu, lalu melemparkan kepala ayam dan pesan itu ke keranjang sampah terdekat. Mengapa ia dan Kris bisa bermusuhan begini? ia bertanya-tanya. Ia masih ingat tahun-tahun saat mereka besar bersama, ketika keluarga Kris tinggal di ujung jalan. Waktu itu mereka bersahabat. Hampir tak terpisahkan. Kini mereka tak bisa bersama selama lima menit tanpa terjerumus ke dalam kompetisi konyol. Konyol, sangat konyol. Tapi meskipun tahu kompetisi itu konyol,, Baekhyun tetap tak mau kalah dari Kris. Tidak sekarang. Tidak selamanya.

Hari Kamis sebelum pesta, Baekhyun sedang bergegas ke perpustakaan sekolah untuk mengerjakan proyek biologinya saat jam belajar. Ia telah memilih perkecambahan bibit sebagai topik proyeknya karena hal itu terasa sangat menarik. Memang hal itu menarik, tapi juga jauh lebih kompleks daripada yang pernah ia bayangkan. Ia telah mencoba mengecambahkan beberapa bibit dan menyimpannya pada berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda, tapi tak ada yang bertunas. Kini sebagai gantinya ia harus membuat ilustrasi. Ia berbelok di sudut menjelang perpustakaan dan tiba-tiba langkahnya terhenti. Di ujung koridor ada sekelompok kecil murid, termasuk Chanyeol, Jongin, Kris—dan Kim Nana. Gadis itu mengenakan sweter merah cerah dan rok wol kotak-kotak, dan tampak sangat cantik hingga Baekhyun hanya ingin mendekati dan memeluknya. Tapi Kim Nana sedang tersenyum dan berbicara pada Kris. Kris-lah yang pertama melihat Baekhyun. Ia tak mengatakan apapun. Ia hanya menatap Baekhyun seolah pemuda itu seekor kutu atau bentuk kehidupan rendah lain. Dan kemudian ia sengaja kembali memusatkan perhatian pada Kim Nana. Ia membungkuk dan mengatakan sesuatu pada gadis itu, sangat dekat ke wajahnya. Kim Nana cepat-cepat menggeleng, tampak kesal, dan para jagoan itu tertawa serta melangkah pergi dengan angkuh. Baekhyun memaksa diri bersikap seolah ia tak melihat apa-apa. “Hai, Muka Lucu,” sapanya.

“Hai, Baekhyun,” jawab Kim Nana. Ia tersenyum, tapi tak penuh. Ia tampak khawatir, seolah ada sesuatu di benaknya.

“Tadi itu apa?” Baekhyun bertanya sambil lalu.

“Apa yang mana?”

“Dengan Chanyeol dan Kris. Kalian sedang membicarakan apa?”

Sesaat Kim Nana tak menjawab, lalu ia melemparkan Tatapan pada Baekhyun, tatapan yang berarti Baekhyun menginjak daerah berbahaya. “Memangnya aku tak boleh bicara dengan mereka?” tanya gadis itu, terdengar membela diri.

“Yah, hanya saja—mereka anggota tim lawan,” ujar Baekhyun. Lalu mencoba melucu, ia menambahkan, “Kan ini perang”

Tapi Kim Nana tak menganggapnya lucu. “Ketahuilah,” katanya, “tak ada hal semacam itu. Dan aku bukan anggota tim mana pun. Atau kau sudah lupa?”

“Aku ingat, tapi—yah, kau akan pergi ke pesta bersamaku, jadi…”

“Aku akan pergi ke pesta bersamamu,” potong Kim Nana. “Tapi aku akan bicara kepada siapa pun yang kuinginkan.”

Baekhyun tahu gadis itu benar. “Maafkan aku,” katanya. “Aku tak bermaksud menekanmu. Hanya saja kau terlihat agak khawatir.”

“Benar, aku memang khawatir,” jawab Kim Nana. “Gagasan pesta ini semakin tampak aneh.”

“Apa maksudmu?”

“Yah, kontes konyol ini. Tiffany juga sangat terlibat. Dan aku masih tak mengerti mengapa dia mengundang kita. Murid-murid yang diundang saling tak cocok.”

“Aku tahu,” komentar Baekhyun. “Tapi memangnya kenapa?”

“Dan mengapa dia bilang tak ada yang boleh bawa pacar?” Kim Nana meneruskan.

“Itu bukan masalah bagi kita,” ujar Baekhyun. “Maksudmu, kau tak mau pergi?”

“Bukan,” jawab Kim Nana. “Tapi, Baekhyun, hati-hati. Tadi pagi Angela berkata tim jagoan sedang merancang beberapa tipuan untuk pesta itu, yang bisa sangat berbahaya.”

“Apa misalnya?”

“Aku tak tahu. Itulah yang tadi sedang kutanyakan pada Kris.”

“Apa katanya?”

“Dia tak mau mengatakannya. Dia hanya berkata aku sebaiknya bergabung dengan timnya,” jawab Kim Nana, kini bahkan semakin kesal. ‘Dia bilang mungkin tak aman bagiku pergi bersama tim pengecut”
Baekhyun menarik napas dalam-dalam dan menahannya. “Kau bilang apa?” sesaat kemudian ia bertanya. Ia benci pada dirinya sendiri karena menanyakannya, tapi ia harus tahu.

“Oh, aku bilang dia benar dan aku memutuskan untuk pergi dengan tim jagoan—kau kira aku bilang apa?”

Nada sinis dalam suaranya seberat semen dan Baekhyun merasa tak enak. “Kim Nana, aku menyesal. Aku tak bermaksud…”

“Apa gunanya menyesal?” tanya gadis itu. “Aku heran melihat tingkahmu dan Kris. Kalian berdua menanggapi hal ini dengan serius. Mengapa kau tak bisa bersikap santai dan menanggapinya sebagai pesta biasa?”

“Hei, bukan aku yang terlalu serius menanggapinya,” bantah Baekhyun. “Kris yang memainkan semua tipuan itu. Dia yang mengancammu, mencoba mengacau hubungan kita…”

“Coba dengar perkataanmu itu” sergah Kim Nana, matanya yang berwarna gelap tiba-tiba berpendar marah. “Mengapa kau tak mengaku saja, bahwa kau sama cemburunya dengan Kris Itulah sebenarnya alasan kompetisi konyol ini”

Kim Nana berbalik marah dan berjalan menyusuri koridor.

Baekhyun bermaksud mengejarnya, tapi mengurungkan niat. Tak akan berguna. Kalau marah seperti itu, Kim Nana pasti butuh waktu untuk menenangkan diri.

Baekhyun seorang diri di perpustakaan saat jam belajar, tapi baginya sama saja seperti berada di tengah keramaian stasiun kereta api. Ia terpaku menatap foto-foto benih, tapi yang terlihat olehnya hanya wajah Kris Beale.

Apa pun rencana Kris, pikir Baekhyun, ia takkan membiarkannya begitu saja. Dan Baekhyun tak mau ditakut-takuti oleh isu tipuan “berbahaya”. Ini hanya pesta Halloween. Sudah pasti akan terjadi hal-hal menakutkan pada perayaan Halloween.

Tapi seperti apa pun berusaha mengecilkannya, Baekhyun tak bisa mengabaikan sepercik firasat buruk di hatinya.

…..

Baekhyun sedang meninggalkan perpustakaa menuju kelas berikutnya ketika mendengar suara-suara marah di luar pintu pelayanan kafeteria. la bermaksud jalan terus ketika mendengar pekikan pelan dan suara ketakutan seorang gadis, “Berhenti Kau menyakitiku”

Dengan jantung berdebar kencang, Baekhyun menarik daun pintu lebar-lebar. Di lobi pelayanan tampak Taeyang McCorey dan Top Danfort. Di antara mereka berdiri Tiffany, dengan wajah pucat dan mimik takut.

“Tak bisa” ujar Tiffany. “Kau tak mengerti? Pesta itu sudah dirancang…”

“Nah, kau sebaiknya merancang ulang pesta itu,” tukas Sehun, terdengar sangat sok. Tiffany mencoba melepaskan diri, tapi Taeyang memegang pergelangan tangannya.

“Seperti yang sudah kami katakan padamu, Tiffany,” ujarnya.

“Kami tak menerima jawaban tidak.”

Baekhyun berjalan menghampiri mereka tanpa berpikir lagi.

“Baiklah, kalian berdua,” katanya. “lepaskan dia.”

“Oh ya?” kata Taeyang. “Siapa yang menyuruh?”

“Aku,” ujar Baekhyun. “Ayo.”

“Kau tak membuatku takut,” jawab Taeyang. Tapi ia melepaskan pergelangan tangan Tiffany.

“Ayo, Sehun,” ajak Top. “Kita bisa menyelesaaiikan masalah ini nanti.”

‘ “Dan jangan kaupikir kami akan melupakannya,” tambah Taeyang. Ia mulai melangkah ke arah pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan berbalik membeliak pada Tiffany. “Kau punya waktu sampai besok malam untuk mengubah keputusanmu,” katanya pada gadis itu.

“Lupakan,” jawab Tiffany. “Kalian tak diundang.”

“Kita lihat nanti,” ejek Top. “Dan kau, pengecut,” tambahnya, menunjuk pada Baekhyun, “kalau tak menyingkir dari depanku, kau takkan memerlukan topeng Halloween.”

Dengan langkah dibuat-buat, kedua pengganggu itu menghilang ke koridor. Sesaat Tiffany menatap mereka. “Baik sekali mereka,” komentarnya.

“Mereka menganggap diri mereka jahat,” ujar Baekhyun. “Padahal sebenarnya mereka mungkin dua pengecut bertubuh paling besar di Shadyside.”

“Yah, menurutku yang kaulakukan sangat berani,” komentar Tiffany, melemparkan senyum brilian yang agak berkesan akrab.

“Terima kasih.”

Baekhyun melihat rambut pirangnya yang mengilat dikepang ke belakang, dan gadis itu mengenakan sweter hijau limau yang membuat matanya semakin tampak hijau.

“Hei, dengar, jangan khawatirkan kedua pemuda itu,” kata Baekhyun. Lalu tiba-tiba ia menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia telah melawandua pemuda paling kejam di Shadyside. Aku tadi bisa mati pikirnya. Apa aku gila?

“Kau mengagumkan,” kata Tiffany. “Suatu hari aku ingin menunjukkan sedalam apa rasa terima kasihku.” Ia terus tersenyum, lalu melanjutkan. “Aku juga ingin minta maaf padamu,” tambahnya, suaranya yang mendayu-dayu bernada rendah dan akrab.

“Minta maaf?” ulang Baekhyun, heran. “Untuk apa?”

Tiffany tampak malu. “Aku—aku tahu undangan pestaku telah menimbulkan beberapa masalah. Jadinya sekarang ada semacam kontes.”

“Yah, memang,” ujar Baekhyun. “Tapi itu bukan salahmu.”

“Terima kasih,” kata Tiffany. “Aku tak pernah bermaksud membuat kalian bermusuhan dengan pesta ini. Aku hanya ingin mengundang beberapa orang istimewa supaya aku bisa lebih mengenal kalian semua.” Sesaat ia menyentuh lengan Baekhyun dengan ujung jarinya. Pemuda itu merasa aliran listrik merambat di lengannya, kemudian di sekujur tubuhnya.

“Yah… eh… hei, maksudku… Kami juga, eh… kami semua juga ingin lebih mengenalmu,” gumamnya terbata-bata.

“Maksudku,” lanjut Tiffany, “tak perlu ada kontes. Aku sudah merencanakan banyak kejutan tanpanya. Gagasan ini rasanya benar-benar konyol.”

“Kim Nana juga bilang begitu,” komentar Baekhyun. “Kim Nana, pacarku,” ia cepat-cepat menambahkan. “Ia bahkan sama sekali tak mau terlibat dalam kontes itu.”

“Bagus,” Tiffany menanggapi. “Kau tahu, dia temanku di kelas senam. Apa benar dia tuli? Aku diberitahu begitu, tapi rasanya sulit dipercaya.”

“Benar,” jawab Baekhyun. “Tapi kebanyakan orang tak tahu.”

“Aku sangat senang dia juga akan menghadiri pesta ini,” kata Tiffany. “Aku tak punya teman cewek di Shadyside, dan bagiku Kim Nana sangat istimewa.”

“Akan kusampaikan padanya,” ujar Baekhyun. Ia pergi dengan

perasaan hangat. Pesta ini pasti akan sangat istimewa, pikirnya. Dan tak seorang pun—bahkan Kris—akan merusak suasana hatinya dan Kim Nana.

….

Kim Nana sedang menunggu di locker Baekhyun ketika jam sekolah selesai. Ketika melihat pemuda itu berjalan mendekat, Kim Nana tersenyum malu-malu. “Hai, Baekhyun,” sapanya.

“Hai, Muka Lucu.”

“Maafkan aku marah-marah kepadamu,” ujar gadis itu.

“Tak apa,” jawab Baekhyun. “Aku juga minta maaf. Kau benar. Aku terlalu menganggap serius kontes itu. Aku berjanji mulai sekarang akan melupakannya dan santai.”

“Bagus,” komentar Kim Nana.

Baekhyun tersenyum padanya. Ia senang melihat Kim Nana kembali bahagia. Dan ia juga merasa lebih santai daripada seminggu kemarin.

“Jadi, kita pulang lewat mana?” tanyanya. “Jalan yang panjang, atau jalan tembus?”

“Kurasa yang panjang lebih enak, ya kan?” jawab Kim Nana, meremas tangan Baekhyun.

“Tentu dong,” kata Baekhyun. Jalan yang panjang memberi mereka sepuluh menit ekstra untuk berduaan saja.

Baekhyun memasukkan perlengkapannya ke dalam ransel. “Sini, kubawakan bukumu,” katanya pada Kim Nana.

Kim Nana menyerahkan tumpukan bukunya pada pemuda itu, tapi ketika sedang melakukannya, buku geografinya jatuh ke lantai dan secarik kecil kertas melayang-layang keluar. Sambil lalu dipungutnya kertas itu dan dibacanya, lalu ia mendesah kaget.

“Ada apa?” Baekhyun mengambil kertas itu dari tangannya. Tertulis dalam huruf-huruf balok:

KAU AKAN INGIN BUTA JUGA.

Es.

Es, pikir Baekhyun.

Ia merasa tubuhnya membeku di tempat, seluruhnya dingin. Ia merasa seolah sudah jadi es. Dan kemudian ia merasa panas, panas karena amarah. “Kok ada yang tega melakukan hal sekejam ini” sergah Baekhyun akhirnya.

Kim Nana tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, jelas sangat kesal.

“Hanya ada satu orang yang tega melakukan hal ini,” komentar Baekhyun. “Dan kau juga tahu siapa dia.”

“Jangan cari gara-gara, Baekhyun, kumohon,” ujar Kim Nana.

“Aku tak cari gara-gara, tapi aku siap menyelesaaikan masalah ini” sergah Baekhyun panas. “Kris dalang semua ini. Pasti dia.”

“Baekhyun, tidak, kumohon jangan” Kim Nana mencengkeram lengannya. “Bukan Kris pelakunya. Dia menyukaiku. Kau salah. Kau tak berpikir jernih.”

“Dengar, Kim Nana, aku tahu…”

“Kau tak tahu siapa pelakunya. Kalau kau mengatakan sesuatu pada Kris, keadaan akan semakin buruk”

“Memang, tapi aku tak bisa hanya…”

“Kumohon,” ulang Kim Nana. “Kita lupakan saja.”

“Lupakan?” Baekhyun kaget Kim Nana bisa mengusulkan hal semacam itu.

“Ini… ini hanya sebuah lelucon,” ujar Kim Nana. “Memang kejam, dan konyol, tapi hanya itu. Kalau kita bersikap seolah hal ini tak pernah terjadi, siapa pun pelakunya takkan mendapat kepuasan.”

Baekhyun dapat melihat kebenaran pendapat Kim Nana, tapi ia tak menyukainya. “Jadi, kita tak perlu membicarakannya?”

“Benar,” jawab Kim Nana. “Dan jangan tampak kesal.”

“Wah, aku harus mengerahkan semua kemampuan aktingku,” komentar Baekhyun.

“Kumohon, Baekhyun, demi aku,” Kim Nana kembali memohon.

Baekhyun menunduk menatapnya dan merasa hatinya mencair. Pada saat-saat seperti ini, ia tahu Kim Nana adalah orang paling penting dalam hidupnya, dan ia akan melakukan apa saja untuk gadis itu. “Oke. Muka Lucu,” katanya. “Demi kau.” Kim Nana berdiri berjinjit dan mencium pipi Baekhyun.

“Trims.”

“Bahkan,” lanjut Baekhyun, “aku punya gagasan. Ayo kita pulang lewat Pete’s Pizza. Kita bisa mempraktekkan akting kita sambil minum Coke.”

Kim Nana kembali tersenyum, senyum penuh cinta yang tulus.

“Setuju,” ujarnya.

Pete’s Pizza merupakan salah satu tempat mangkal remaja yang paling terkenal, dan hari itu penuh sesak, baik oleh murid-murid Shadyside maupun murid kolese yunior di dekat tempat itu. Baekhyun dan Kim Nana beruntung bisa mendapat meja kosong.

Sambil menunggu pesanan mereka diantar, Baekhyun mulai menceritakan pada Kim Nana tentang proyek biologinya. Di sana sangat bising sehingga Baekhyun hampir tak bisa mendengar suara Kim Nana, tapi gadis itu mengerti semua perkataannya. Ia baru sampai ke bagian di mana bibit membelah jadi dua ketika Kim Nana memotong penjelasannya.

“Baekhyun, lihat,” katanya, menunjuk. Baekhyun memandang ke arah yang ditunjuk Kim Nana, dan melihat Tiffany sedang berdiri di sebuah bilik telepon dengan mimik serius.

“Mungkin kita sebaiknya mengajak dia bergabung,” kata Baekhyun.

“Dia bilang padaku ingin mengenalmu lebih dekat.”

“Oke,” ujar Kim Nana. “Kita akan mengamatinya dan…” Ia berhenti berbicara dan wajahnya diselimuti mimik aneh.

Baekhyun memegang tangannya. “Ada apa, Kim Nana? Kim Nana, ada apa?”

“Mungkin bukan apa-apa,” jawab Kim Nana. “Tapi… lihat Tiffany.”

Baekhyun kembali memandang ke arah bilik telepon. Tiffany masih berbicara di telepon, dengan mimik tegang yang aneh. Seolah ia telah berubah menjadi orang lain yang lebih tua dan kejam.

“Aku tak bermaksud menguping,” kata Kim Nana. “Tapi… aku membaca bibirnya. Dan ia bilang, ‘Mereka akan membayar. Semua akan membayar.'”

….

MALAM HALLOWEEN

ANGIN berembus semakin kencang, menderu-deru di makam tua itu, mengguncang ranting-ranting gundul seperti tulang jemari kerangka. Kim Nana meremas tangan Baekhyun ketika mereka mendekati istana Cameron. Mereka mengikuti Chanyeol, yang masih terkekeh-kekeh geli karena berhasil menakut-nakuti mereka. Tiba-tiba Kim Nana berbalik. Dua remaja lain sedang berjalan di antara nisan, kostum mereka berkilauan dalam sinar rembulan bulan Oktober yang keperakan.

Semua sudah diberi petunjuk melewati jalan yang sama. Mereka harus memarkir mobil di jalan buntu di ujung Fear Street, dan memotong jalan lewat makam ini menuju rumah Tiffany di ujung hutan. Meskipun tadi ia dan Kim Nana sempat ketakutan termakan tipuan Chanyeol, Baekhyun memutuskan berjalan menembus makam merupakan gagasan brilian. Cara apa yang lebih hebat untuk membuat semua orang diselimuti suasana seram menakutkan khas Halloween?

Dari dekat, istana Cameron tampak lebih menyeramkan daripada dari makam. Bangunan itu dikitari pada kedua sisinya oleh pepohonan gundul yang tampak seolah sudah berumur ratusan tahun. Jendela-jendela lantai dasar dilapisi jeruji besi tebal, dan di sampingnya terdapat kerai kayu rongsokan yang terempas-empas

angin. Meski sedang diperbaiki, pikir Baekhyun, rumah tua ini tetap tampak seperti rumah-rumah di film horor. Mungkin rumah ini benar-benar berhantu. Tepat saat itu lolongan angin berhenti, dan ia bisa mendengar suara musik serta tawa dari dalam. Kedengarannya pesta sudah dimulai. Chanyeol sedang menaiki tangga depan beranda, kostum zombie-nya berkibar-kibar di sekitar tubuhnya diterpa angin. Baekhyun melirik Kim Nana dan meremas tangannya, menenangkan gadis itu. Kim Nana mengenakan kostum peramal karnaval kuno—gaun pesta dansa dari satin merah dan jubah bertudung hitam yang melambai-lambai. Iameniru modelnya dari sebuah buku kostum pesta tua. Ia tampak cantik jelita. Sambil tersenyum lebar pada Baekhyun, Kim Nana memasang topeng matanya yang hitam mengilat dan berbulu. Baekhyun dengan cepat mengenakan topengnya sendiri. Ibunya telah menolong mendandaninya sebagai pemuda Latin zaman tahun 1950-an. Ia mengenakan celana chino hitam dan sepatu saddle tua milik ayahnya yang ia temukan di gudang loteng. Ia telah menggulung satu pak rokok di sebelah dalam lengan T-shirt putihnya yang ketat dan mengenakan jaket gelap longgar di luarnya. Kedua sisi rambutnya disisir licin ke belakang dan diberi Vaseline serta berjambul di depan. Saat keluar dari rumahnya tadi, ia merasa tampangnya cukup keren, tapi kini ia bertanya-tanya apakah ia hanya tampak konyol. Seperti seorang pengecut.

Seolah membaca pikirannya, Kim Nana mengulurkan tangan ke atas dan mencium pipinya. “Kau tampak hebat, Baekhyun,” ujarnya.

Baekhyun tersenyum padanya. “Kau juga, Muka Lucu.” Ia menggeser topengnya ke atas dan membungkuk untuk mencium Kim Nana.

Gadis itu membalas ciumannya, dan sesaat mereka hanya berdiri di sana, berangkulan dengan canggung karena terhalang kostum mereka, dan berciuman.

“Eh.„ Baekhyun,” kata Kim Nana sesaat kemudian. “Bagaimana pestanya?”

“Pesta apa?” tanya Baekhyun. Tapi ia menarik tubuhnya dan kembali tersenyum pada Kim Nana. Kemudian, bergandengan tangan, mereka menaiki tangga ke beranda yang penuh sulur tanaman. Chanyeol pasti sudah masuk ke dalam, karena beranda itu kosong.

Di tengah daun pintu kayu yang sudah tua terpasang sebuah pengetuk pintu berukir berbentuk tengkorak kepala. Baekhyun sedang mengulurkan tangan untuk menariknya, ketika tiba-tiba seekor labah- labah berbulu raksasa menukik di udara dan mendarat di atas lengannya.

“Tidak” Kim Nana berteriak dan Baekhyun meloncat mundur, jantungnya berdebar kencang.

“Kena lagi” Baekhyun berbalik dan melihat Chanyeol berdiri di atas pagar samping beranda, tersembunyi di balik sulur tanaman. Sambil terkekeh-kekeh gila, Chanyeol meloncat turun ke lantai beranda.

Serangga karet raksasa itu tergantung di ujung sebuah tongkat panjang dan karet gelang yang dinaik-turunkannya seperti yoyo. Chanyeol tertawa. “Kalian berdua gampang sekali ditakut-takuti. Kalau semua pengecut sepengecut kalian, tim jagoan akan memenangkan kontes ini dengan mudah.”

“Lucu sekali, Murph,” ujar Baekhyun. Ia menarik napas dalam dan kemudian tertawa. Sambil memperbaiki topengnya, ia kembali mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Terdengar bunyi derit, dan daun pintu perlahan membuka.

….

Ruang tamu Tiffany tampak menyeramkan, menimbulkan rasa ingin tahu, khayalan—atau mimpi buruk—Halloween terhebat. Jaring labah-labah palsu bergantungan di tiap sudut, dan gambar tengkorak, tukang sihir, serta kelelawar menjuntai dan berayun-ayun di langit-langit.

Di sepanjang balkon sempit di atas satu sisi ruang tamu terdapat lampu sorot berwarna yang seolah menyoroti ruangan seirama dengan musik, sinarnya yang berpendar-pendar membuat semua seolah bergerak-gerak seram.

Satu-satunya sumber sinar lain berasal dari perapian terbuka berukuran raksasa, di mana sebuah periuk hitam besar sedang dijerang, mengeluarkan asap kehijauan yang berbusa-busa mengepul.

Semua perabotnya dari abad lain, tapi musik yang menggelegar dari pengeras suara tersembunyi berasal dari zaman sekarang. Efek keseluruhannya seperti berada di kastil berhantu modern.

Bahkan Chanyeol pun terkesan. “Wah,” ujarnya, berhenti tepat di dalam pintu ruang tamu. “Benar-benar… wah”

“Oh, Baekhyun, keren sekali” Kim Nana mencengkeram lengan Baekhyun

penuh semangat.

Mereka sesaat berdiri di pintu yang terbuka saat seorang dewi—atau iblis—menyeberangi ruangan. Baru sesaat kemudian Baekhyun mengenali Tiffany. Ia mengenakan gaun hitam ketat, terbuat dari satin dan berpotongan leher rendah, serta memakai selop berhak tinggi runcing. Rambut pirangnya yang tebal disanggul tinggi di atas kepala, dan ia telah membedaki wajah serta tenggorokannya hingga putih pucat—yang berwarna hanya pulasan merah di bibirnya yang seksi serta bola matanya yang hijau berkilauan.

“Ia tampak seperti wanita berambut hitam di TV, yang memainkan film-film horor itu. Elvira,” bisik Baekhyun.

Tiffany sengaja berhenti sebentar, kemudian tersenyum hangat.

“Selamat datang di ruangan bawah tanahku” sambutnya. “Hampir semua orang sudah hadir di sini. Kami mulai berpikir kalian diculik setan”

“Kostummu hebat, Tiffany,” ujar Kim Nana.

“Terima kasih,” kata Tiffany. “Sejak dulu aku ingin jadi vampir”

Ia berkata seolah sungguh-sungguh, kemudian tertawa. “Kostummu juga cukup keren. Mengingatkanku pada yang kulihat di Karnaval Venice.”

“Di mana?” tanya Kim Nana.

“Di sebuah pesta besar yang mereka adakan di Venice setahun sekali,” kata Tiffany. “Semua orang berdandan dan berpesta di seluruh jalan serta kanal. Di Venice, Italia,” tambahnya. “Dulu aku tinggal di sana dengan… pamanku. Oh ya, aku jadi ingat. Paman Philip, perkenalkan teman-teman baruku.”

Seorang pria yang sangat kurus melangkah keluar dari bayangan di samping perapian. Ia mengenakan kostum badut satin berwarna biru, dan wajahnya tertutup riasan teater berupa topeng badut sedih. Sebutir air mata mengilap dilekatkan di bawah mata kanannya.

“Ini Chanyeol Carter, Kim Nana Meyer, dan Baekhyun Ryan,” ujar Tiffany.

“Aku sangat senang bertemu kalian semua,” kata Philip, cermat mengamati masing-masing remaja dengan mata badutnya yang sedih.

“Kami sangat senang bertemu Anda,” balas Baekhyun, menjabat tangan Philip. “Rumah Anda bagus sekali.”

“Ya,” Kim Nana menyetujui. “Ini pesta paling luar biasa yang pernah saya hadiri.”

“Wah, terima kasih,” ujar Philip. “Kami menyewa seorang insinyur dari Disko Starlight untuk memasang semua lampu dan sound system. Tiffany yang memilih semua tape dan CD. Kami—keponakan saya dan saya—telah melakukan segalanya untuk membuat pesta ini tak terlupakan.”

“Mari aku simpankan mantel kalian,” ujar Tiffany. “Ayo masuk dan bergabunglah. Di atas peti mati ada makanan, dan di dalam periuk ada soda dingin.”

Tiffany dan pamannya pergi untuk bicara dengan tamu lain. Baekhyun tetap berdiri dekat pintu, mengamati dekor ruangan yang fantastis. Sepasang remaja sedang berdansa dekat perapian, dan beberapa lagi sedang berdiri sambil makan serta tertawa-tawa.

Dekorasinya membuat ruangan itu tampak seperti seting film. Tiffany dan pamannya pasti punya banyak uang, pikir Baekhyun. Pesta ini butuh banyak uang. Aku ingin tahu mengapa Tiffany ingin mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk sembilan orang?

“Aneh, ya?” kata Kim Nana di sampingnya.

“Aneh? Bercanda kau Ini hebat” tukas Baekhyun.

“Mereka mengeluarkan banyak uang untuk pesta ini,” Kim Nana meneruskan seolah telah membaca pikiran Baekhyun. “Aku heran mengapa dia repot-repot begini?”

“Aku juga tak tahu,” jawab Baekhyun. “Mungkin dia senang menyumbang kita.”

“Kita beruntung,” komentar Kim Nana. “Tapi aku tetap… ingin lebih jauh mengenal Tiffany.”

Baekhyun tertawa. Kim Nana adalah orang yang paling penuh rasa ingin tahu yang ia kenal.

“Hei, Muka Lucu,” katanya. “Nanti kau bisa berperan sebagai Nancy Drew, sekarang ayo kita periksa makanannya.”

Ia memegang tangan Kim Nana dan membimbingnya ke tepi ruangan.

Seperti yang dikatakan Tiffany, “meja” makannya berupa peti mati hitam mengilap. Meja itu dipenuhi sederetan keju, roti, cracker, dan berbagai saus serta makanan pembuka yang membangkitkan selera—termasuk beberapa jenis yang tak dikenal Baekhyun. Sebuah rak di atas peti mati berisi mangkuk-mangkuk besar chip dan piring-piring piza—pepperoni, bawang bombai, sosis, dan semua kombinasi yang diketahui Baekhyun. Di bawah semua makanan itu terdapat periuk hitam besar penuh berisi es dan lusinan kaleng soda.

“Coba lihat” tukas Baekhyun. “Aku belum pernah lihat makanan sebanyak ini di sebuah pesta.”

“Aku juga,” komentar Kim Nana menyetujui, “kecuali mungkin waktu orangtuaku mengadakan pesta Tahun Baru.” Ia mengulurkan tangan mengambil sebuah cracker berlapis sesuatu berwarna pink.

“Enak” katanya. “Apa ya ini?”

“Tarama salata,” tukas Angela, yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. Ia menyentuh bahu Kim Nana dan mengulangi kata-kata itu supaya Kim Nana bisa membaca bibirnya. “Ini kue Yunani yang terbuat dari telur ikan. Aku menanyakannya pada Tiffany. Dia bilang dia belajar membuatnya waktu tinggal di kepulauan Yunani.”

“Rasanya enak,” komentar Kim Nana serius. “Cobalah, Baekhyun.”

“Telur ikan?” ulang Baekhyun. “Tidak, trims. Aku makan piza saja”

Ia melangkah mundur dan mengamati kostum Angela dengan pandangan memuji. Gadis itu mengenakan kostum pembalap sepeda, semua terbuat dari kulit, dan mencap lengan serta lehernya dengan tato. “Kostum keren,” komentar Baekhyun.

“Trims” jawab Angela. “Kau harus lihat yang lain. Ini sudah jelas pesta paling hebat yang pernah kuhadiri.”

Ketika Kim Nana mencoba sesuatu berwarna hijau berisi krim putih, Baekhyun mengunyah piza dan mengamati tamu-tamu lain. Agak sulit melihat dalam sinar remang-remang, tapi ia mengenali Krystal dan Jongin sedang berbicara di sudut di bawah sebuah tengkorak kepala manusia. Jongin mengenakan seragam basketnya, hanya sebagai pengganti bola ia memegang tengkorak kepala bulat besar terbuat dari papier-mache. Krystal, wajah bulatnya tampak ceria dan bersemangat, mengenakan kostum cheerleader dari tahun lima puluhan, dengan sweter pink ketat dan rok putih pendek di atas bot setinggi mata kaki berwarna putih. Di tangannya ada sebuah megafon besar, dan ia tampak menggelikan—kalau mimiknya tak menunjukkan kegembiraaan yang luar biasa.

Di depan perapian, Tiffany sedang berdansa dengan Chanyeol:sang vampir dan sang zombie. Mereka tampak menakutkan, tapi sekaligus memesona, seperti makhluk-makhluk di film horor.

Baekhyun sedang mencari-cari pasangan remaja terakhir ketika mendengar sebuah suara aneh di belakangnya. Ia menolah dan terperangah, kemudian mulai tertawa. Ia tak bisa menahan diri. Di belakangnya ada Lay Schorr, memakai kostum katak. Ia mengenakan pakaian dalam panjang berwarna hijau terang, sepasang sirip untuk berenang, dan topeng bermata hitam menonjol di atas kepalanya. “Ribit,” kuaknya.

“Ya ampun” Baekhyun akhirnya berkata setelah kembali bisa bernapas. “Kau muncul sebagai proyek biologimu.”

“Kau suka?” tanya Lay, meneguk Dr. Pepper diet. “Aku sendiri yang mencelup pakaian dalam ini. Tapi ibuku agak kesal—dia tak bisa menghilangkan semua warna celupan ini di mesin cucinya.”

“Kurasa ini menampilkan dirimu yang sebenarnya,” komentar Angela menghina. “Agak berlendir dan aneh.”

“Masa?” tangkis Lay. “Berarti kau tak mengenalku. Kalau kau menciumku, aku akan berubah jadi pangeran.”

“Lebih baik aku dengan zombie saja, trims,” ujar Angela.

Chanyeol dan Tiffany telah berhenti berdansa, dan Angela berjalan menghampiri mereka serta memegang tangan Chanyeol.

“Hei, Muka Lucu,” kata Baekhyun, menyentuh lengan Kim Nana. “Kalau kau bisa berhenti makan sebentar… mau dansa?”

Terdengar lagu rap mengentak cepat, dan sesaat Kim Nana memejamkan mata, supaya bisa lebih merasakan irama musik yang menggetarkan lantai. “Tentu,” jawabnya. “Sebaiknya aku memang berhenti makan. Baekhyun, ini sajian yang paling hebat Dia punya hidangan Yunani, Jepang, Prancis, Meksiko…”

“Belum termasuk piza Amerika yang sedap,” tukas Baekhyun.

“Jangan kampungan,” ujar Kim Nana. Ia berputar menjauhi Baekhyun, kemudian kembali. “Ada satu hal yang tak kumengerti,” kata Kim Nana.

“Aku tak mengerti bagaimana Tiffany bisa tinggal di semua tempat itu. Maksudku, dia kan masih remaja.”

“Tanyakan padanya nanti,” usul Baekhyun. Sebuah lagu baru mulai mengalun dan mereka tetap berdansa. Baekhyun mengamati Kim Nana dengan bangga. Ia gadis tercantik di tempat ini. Tiffany terlalu mengerikan, dan Angela tampak seperti gadis nakal, tapi gaun merah Kim Nana menghidupkan semua warna cerah di pipi dan bibirnya, serta membuat matanya yang gelap berkilau seperti batu bara.

Di satu sisi, Lay dan Krystal sedang berdansa, sang katak hijau yang sedang marah dan sang pemandu sorak gemuk, keduanya tampak senang.

Pesta ini menyenangkan, ujar Baekhyun pada diri sendiri. Aku masih tak tahu mengapa kami diundang—tapi aku bersyukur. Tape berhenti. Ketika Philip pergi untuk menggantinya, terdengar ketukan keras di pintu. Tiffany pergi untuk membukanya, dan semua orang menoleh untuk melihat siapa tamu yang datang terlambat itu.

Sesaat suasana hening. Berdiri di ambang pintu ruang tamu, berbingkai koridor yang gelap, tampak sosok berkostum perak mengilat dari kepala sampai kaki. Sosok itu berpose, seperti matador, lalu melangkah gagah ke dalam ruang tamu. Kini Baekhyun melihat sosok itu adalah Kris, mengenakan kostum senam perak ketat dan topeng perak berkilauan.

Di bawah kostum perak itu, ototnya bergerak-gerak ketika ia berjalan.

Sok pamer, pikir Baekhyun.

Kim Nana semakin erat mencengkeram tangan Baekhyun, dan ia berbisik,

“Wah Dia tampak fantastis”

Beberapa tamu lain mulai bersiul dan berteriak-teriak. Bahkan Tiffany pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari Kris. “Ladies and gentlemen,” ujar gadis itu akhirnya, “saya persembahkan—sang Pangeran Perak”

Kris berjalan ke tengah ruang tamu dengan gaya tuan rumah. Baekhyun tidak tahan tak mengatakan apa-apa. Dipicu pujian Kim Nana untuk Kris. “Hei, Kris,” panggilnya, “kau pakai kostum apa—Manusia Kaleng? Atau Tinkerbell?”

Kris tertawa. “Akuilah, Ryan,” katanya. “Kau takkan bisa tampak sehebat ini walau sejuta tahun lagi sekalipun.” Baekhyun masih memikirkan jawaban yang sinis ketika musik kombali mengalun, dan sesaat Kris berdansa sendiri, pusat perhatiat semua orang.

Kim Nana menarik lengan Baekhyun. “Ayo, Baekhyun,” katanya. “Kita dansa.” Ia memandang Baekhyun dengan tatapan yang sangat penuh cinta hingga sesaat Baekhyun lupa untuk iri pada kostum spektakuler Kris.

Lihat, Pangeran Perak, pikirnya. Silakan pamer, tapi Kim Nana ingin berdansa denganku. Meskipun tak bisa mendengar suara musik, Kim Nana adalah salah satu pedansa terbaik yang dikenal Baekhyun. Gadis itu pernah menjelaskan caranya merasakan irama musik di seluruh tubuhnya, tapi Baekhyun masih tak seratus persen tahu bagaimana cara Kim Nana melakukannya.

Baekhyun hanya tahu ia menyukainya. Ia merasa seolah dapat berdansa seperti itu selamanya, mendekap Kim Nana, merasakan kehangatan tubuhnya.

Lagu slow itu berakhir, dan disambung yang lain, sama pelan dan romantisnya. Baekhyun menggesekkan bibirnya di rambut Kim Nana, menghirup aroma lembut gadis itu.

BRUUUUUUUUM.

Suara itu sekeras guntur.

“Apa itu?” teriak seseorang.

Semua orang terkejut.

Tape mati.

“Hei—apa yang terjadi?”

Sesaat kemudian ruangan penuh asap. Lalu ruangan itu dipenuhi teriakan takut, bisikan bingung.

Tak ada yang yakin apakah itu semacam tipuan—atau sebuah bencana.

Baekhyun sudah berniat menarik Kim Nana ke arah pintu ketika Tiffany melangkah ke tengah ruangan.

“Suka kejutanku?” tanya gadis itu, tubuhnya yang seksi hampir sirna ditelan asap. “Ini yang mereka namakan flash pot. Pamanku Philip mempelajarinya ketika bekerja sebagai manajer panggung. Aku ingin mendapat perhatian kalian. Apa aku berhasil?”

Sepasang remaja bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa masih terlalu kaget untuk bereaksi.

Tiffany tersenyum, lalu mengangkat sebelah alis. “Aku sudah menjanjikan banyak kejutan untuk kalian,” katanya. “Dan masih ada lagi yang lain. Tapi untuk sekarang—siapa yang mau dansa lagi?”

Sorak-sorai dan tepuk tangan semakin keras. Baekhyun juga ikut bersorak-sorai. Tampaknya semua bisa terjadi di pesta ini, dan ia siap menghadapinya.

“Bagus,” kata Tiffany. “Tapi sebelumnya aku harus menceritakan sebuah kisah nyata. Sejak dulu orang selalu suka berdansa. Tapi di Abad Pertengahan, kadang dansa bukan sekadar untuk bersenang-senang. Bahkan dikatakan beberapa orang kemasukan setan saat berdansa. Mereka akan berdansa semakin cepat, semakin cepat, hingga mati kelelahan. Aku tak tahu apakah malam ini di sini ada setan, tapi semua bisa terjadi pada malam Halloween. Apa ada yang berani mencoba musik yang benar-benar cepat?”

“Ya”

“Ayo”

“Yo”

Para tamu kini siap melakukan apa saja. Jika Tiffany menyuruh mereka meloncat ke dalam kolam renang dengan pakaian lengkap, pikir Baekhyun, mereka pasti akan melakukannya.

“Kita akan lihat seberapa cepat kalian bisa berdansa” ujar Tiffany. Ia mengulurkan tangan ke belakang dan menekan sebuah sakelar. Lilin di dinding mati. Pada saat bersamaan sebuah lampu sorot menyala berpendar-pendar, dan musik kembali hidup, keras serta cepat, ritme sintesis yang terus-menerus bergaung, menimpali suara-suara yang terdengar seperti robot dan mengatakan “Pump up the jam, pump up the jam” berulang kali.

Api di perapian telah padam menjadi bara, jadi satu-satunya penerangan yang ada berasal dari lampu sorot. Dalam pendarannya yang cepat, semua tampak bergerak semakin cepat. Baekhyun memegang tangan Kim Nana dan memutar tubuh gadis itu. Semua tertawa-tawa, berdansa, saling teriak, dan berganti partner. Dalam sinar yang remang-remang mengerikan, sulit melihat pasangan dansa masing-masing. Suatu saat Baekhyun menyadari ia sedang berdansa dengan Lay. Rasanya menyenangkan, tapi musik terus-menerus mengentak. Setiap kali Baekhyun mulai melambatkan gerakannya, musik mengentak. semakin cepat.

Di tengah ruangan, Kris sedang berputar-putar seperti bayangan perak yang berkilauan, dan Baekhyun tiba-tiba bertanya-tanya dimana Kim Nana. Tepat saat ia melihat gadis itu, sedang berdansa dengan Jongin, lampu mati. Tape player mengerang sedih lalu mati.

Sesaat suasana hening. Ruangan itu gelap gulita, hanya diterangi remang-remang bara api di perapian.

“Apa ini, Tiffany, kejutan lagi?” tanya suara Chanyeol sesaat kemudian.

“Aku tak tahu apa yang terjadi,” jawab Tiffany. Ia terdengar agak takut. “Paman Philip…”

“Aku akan memeriksa kotak sekring,” ujar suara Philip tenang.

“Jangan pergi.”

“Jangan khawatir,” kata Tiffany, masih terdengar takut. “Kami baru memasang sistem listrik baru, dan lampu sorot ini pasti membuatnya terlalu panas. Pamanku akan mengganti sekringnya, dan kita akan…”

Pada saat itu lilin-lilin artifisial di dinding kembali menyala dan tape berbunyi lagi. Tapi tak ada lagi yang ingin berdansa karena sorot lampu memperlihatkan pemandangan mengerikan.

Di depan perapian, separo di atas permadani, tergeletak sesosok tubuh kaku. Darah mengalir dari sisi tubuh itu, bersumber dari pisau daging besar yang mencuat di punggungnya.

//Continue?

3 respons untuk ‘Fear Street : “Halloween Party” [Chapter 2]

Don't Be A Siders~